top of page

Pertanyaan Mengenai Hubungan Tiongkok-Indonesia pada Jaman Demokrasi Terpimpin, 1957-1965


September 1956 merupakan kali pertama Sukarno melawat ke Tiongkok sebagai presiden Indonesia. Pertemuan Sukarno dengan pemimpin-pemimpin komunis di Tiongkok telah meninggalkan kesan yang sangat mendalam di lubuk hatinya, terutamanya konsep-konsep politik seperti “Minzhu Jizhongzhi” (民主集中制, Sentralisme Demokratik) dan “Renmin Minzhu Zhuanzheng” (人民民主专政,Kediktatoran Demokratik Rakyat) . Menurut para pemimpin yang ditemuinya, kedua ide politik ini lebih sesuai bagi negara-negara yang baru mencapai kemerdekaannya seperti Indonesia. Setelah Sukarno balik ke Indonesia, dia mengumumkan bahwa sistem demokrasi parlementer akan digantikan oleh satu sistem politik yang baru yang berdasarkan konsep Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme) . Walaupun kurang jelas bagaimana ideal politik Sukarno dipengaruhi oleh lawatannya ke China, terdapat beberapa peristiwa berikutnya yang saling berkaitan erat: (1) Demokrasi Terpimpin dimulai tidak lama setelah lawatan Sukarno ke China; (2) Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan popularitas yang luar biasa pada periode Demokrasi Terpimpin; dan (3) hubungan antara Tiongkok dan Indonesia juga mencapai puncaknya pada waktu yang sama sebelum keruntuhannya setelah peristiwa Gerakan 30 September.

Pada 1950-an dan 60-an, hubungan antara kebanyakan negara di dunia umumnya didefinisikan selaras dengan kelompok ideologinya, atau tergantung pada situasi sosial-politik masing-masing. Selain daripada kedua faktor tersebut, hubungan ant

ara Tiongkok dan Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh isu-isu etnis, pencarian identitas nasional dan internasional, dan penataan struktur politik. Karena itu, selama periode Demokrasi Terpimpin yang amat singkat itu, bisa dikatakan bahwa banyak peristiwa telah memainkan peran yang penting dan istimewa dalam memperbaiki atau memperburuk hubungan antara kedua negara ini, termasuk perubahan iklim politik dalam negeri masing-masing dan luar negeri, konfrontasi atau aliansi yang berdasarkan ideologi, serta kepentingan nasional dan etnis yang saling bertentangan.

Dalam wacana utama Indonesia, Sukarno, PKI, masyarakat Tionghoa, dan Republik Rakyat China yang dipimpin oleh Parti Komunis Tiongkok selalu saling terjalin. Namun, setelah penulis menyelidiki beberapa peristiwa yang terjadi dalam periode ini, wacana utama atau "sejarah resmi" ini menjadi sangat bermasalah. Ini menimbulkan beberapa pertanyaan yang menarik:

(1) Apakah radikalisasi politik dalam negeri Indonesia merupakan satu proses yang menuju komunisme?

Pada umumnya, di bawah pedoman Sukarno “kembali ke jalan revolusi” dan popularitas PKI yang semakin hari semakin bertambah, politik dalam negeri Indonesia diradikalisasikan dalam periode Demokrasi Terpimpin. Tetapi, dengan adanya konsep “Nasakom”, Sukarno juga berusaha mencipta keseimbangan antara kekuatan-kekuatan politik yang berbeda-beda. Meskipun pengaruh PKI bertambah sebagai akibat radikalisasi politik dalam negeri, kekuatan tentara dan partai-partai anti-komunis yang lain juga menjadi lebih kuat. Misalnya, untuk membasmi pemberontakan daerah seperti Darul Islam di Jawa Barat dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, Sukarno harus mengandalkan sokongan TNI. Oleh sebab itu, ketika Kedutaan Besar Tiongkok memprotes pengusiran orang Tionghoa dari kawasan desa di Jawa Barat, upaya yang dipimpin oleh Kolonel TNI Kosasih pada tahun 1959, Sukarno bersikap sangat ambivalen walaupun dia tahu bahwa aksi keterlaluan ini akan membahayakan hubungan antara Indonesia dan Tiongkok yang dia coba perbaiki.

(2) Apakah PKI benar-benar pro-China?

Tidak bisa dinafikan bahwa PKI mempunyai hubungan erat dengan Partai Komunis Tiongkok karena ideologi serupa, dan biasanya fungsi PKI penting sekali dalam perkembangan relasi Tiongkok-Indonesia. Namun, satu latar belakang penting yang tidak bisa diabaikan adalah perselisihan antara Tiongkok dan Uni Soviet pada penghujung dasawarsa 1950an dan permulaan 1960an. Pihak Beijing sangat terusik oleh perubahan kebijakan Moskow bahwa “dunia sosialisme harus berdampingan dengan dunia kapitalis secara damai” dan “kalau mungkin, sosialisme bisa direalisasikan melalui perjuangan parlemen di negara masing-masing”, karena pada pandangan Beijing, revolusi anti-kapitalisme harus diteruskan dan sistem Uni Soviet sebenarnya sudah menjadi “revisionisme sosialis” atau “imperialisme sosialis” yang bermusuhan dengan rakyat di seluruh dunia. Dalam sengketa ini, PKI sering berpihak dengan Moskow, dan bahkan mengritik pemerintah Indonesia karena pemerintahan memprotes penjajahan Uni Soviet di Hungaria.

(3) Apakah semua etnis Tionghoa di Indonesia pro-komunis?

Banyak orang percaya bahwa masyarakat Tionghoa mempunyai hubungan erat dengan PKI, karena PKI mendapat pendanaan yang terbilang besar dari warga Tionghoa di Indonesia. Dan karena itu, masyarakat Tionghoa dilindungi oleh PKI ketika tentara melanggar kepentingan mereka. Namun, satu hal yang harus dicatat adalah terdapat perbedaan yang sangat menonjol di dalam masyarakat Tionghoa, yaitu perbedaan antara yang mendukung pemerintah komunis di China dan yang mendukung pemerintah Kuomintang di Taiwan. Setelah Persetujuan Mengenai Soal Dwikewarganegaraan ditandatangani antara Tiongkok dan Indonesia, banyak kelompok mengajukan keberatannya, termasuk banyak politikus peranakan Tionghoa seperti Menteri Kesehatan Lie Kiat Teng dan Tjung Tin Yuan dari Partai Katolik. Pada pendapat mereka, kebanyakan orang Tionghoa sudah mendapat kewarganegaraan Indonesia menurut undang-undang yang dikeluarkan pada 1946 dan diratifikasikan pada persidangan dengan autoritas Belanda pada 1949, jadi mereka tidak mau memilih lagi antara kewarganegaraan Tiongkok dan Indonesia.

(4) Apakah kebijakan luar negeri selalu melayani keperluan politik dalam negeri, bukan sebaliknya?

Pada mulanya, salah satu misi utama bagi Kedutaan Tiongkok di Jakarta adalah mendapat sokongan dari masyarakat Tionghoa di Indonesia, supaya mereka bisa mendukung pemerintah komunis yang baru sebagai ganti pemerintah Kuomintang--ini bisa dianggap sebagai satu contoh yang tipikal, di mana kebijakan luar negeri melayani keperluan politik dalam negeri. Pada tahun 1959, Menteri Perdagangan Indonesia mengeluarkan satu regulasi baru yang melarang orang Tionghoa menjalankan usaha di kawasan desa dan memindahkan mereka ke kota. Untuk menjaga “kepentingan warga Tiongkok”, para diplomat Tiongkok yang bekerja di Jakarta pergi ke Jawa Barat untuk menyuruh orang Tionghoa melawan tindakan evakuasi yang dilaksanakan oleh TNI di sana. Peristiwa ini sangat memarahkan pihak Indonesia sebab mereka melihat kejadian ini sebagai campur tangan Tiongkok dalam urusan internal Indonesia. Apabila protes orang Tionghoa yang serupa terjadi sekali lagi pada 1963, pemerintah Tiongkok tidak berbuat apa-apa selain daripada menyalahkan “kaki tangan imperialis yang coba membahayakan persahabatan Tiongkok-Indonesia”. Perubahan ini memberi bayangan bahwa politik dalam negeri juga bisa berkompromi untuk keperluan kebijakan luar negeri yang dianggap lebih penting pada saat itu--berkawan dengan sesiapa yang mungkin untuk melawan hegemon-hegemon yang berbahaya, yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Kalau cuma mau memjawab keempat pertanyaan tersebut dengan sependek mungkin, “belum tentu” atau “tidak semestinya” bisa diterima sebagai jawaban yang paling tepat. Namun, untuk menjawab setiap pertanyaan secara rinci, pertimbangan semula dan penyelidikan yang lebih lanjut akan diperlukan kalau sumber-sumber baru bisa ditemukan.

Meninjau secara retrospektif, pemusnahan PKI dan runtuhnya hubungan Tingkok-Indonesia setelah Gerakan 30 pada tahun 1965 itu bisa dipahamkan dengan mudah dan jelas. Perimbangan kekuatan politik dalam negeri di bawah pimpinan Sukarno itu sangat tidak stabil. Di samping itu, aliansi Beijing-Jakarta juga berdasarkan pondasi yang rapuh. Pada masa yang sama, kita juga perlu memperhatikan bahwa pemerintahan Suharto dalam jaman Orde Baru adalah sangat mirip dengan periode Demokrasi Terpimpin dalam banyak bidang: struktur kekuasaan di bawah pimpinan otokratis, strategi untuk menjaga stabilitas internal, artikulasi kebijakan luar negeri "bebas-aktif", kebijakan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa sementara mengandalkan mereka dalam bidang ekonomi, dan sebagainya. Kalau hal ini benar, apakah perubahan hubungan Tiongkok-Indonesia dari aliansi kepada konfrontasi hanya satu pilihan yang tidak disengaja pada sesuatu saat yang tertentu?

Featured Posts
Recent Posts
Archive
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Basic Square
  • Twitter Basic Square
  • Google+ Basic Square
bottom of page